ITEK 2013 Part 3
Auditorium FTI UII, Pubkom
Menjelang
pukul 11.20 WIB, pembicara kedua maju. Beliau adalah Bapak Sarto, seorang
doktor yang merupakan Dosen Teknik Kimia UGM. Bertindak selaku moderator adalah
Febriyanti Nurul Hidayah (Mahasiswi Teknik Kimia UII Angkatan 2012). Pak Sarto
menyampaikan materi optimalisasi pengolahan limbah. Sebagaimana diketahui,
skema proses produksi adalah:
(bahan
baku + bahan bantu) >> proses >> (produk + limbah)
Pada
bagian proses, terdapat proses fisika, kimia, ataupun bologi, yang berdampak
pada pengolahan limbah yang berbeda-beda. Khusus limbah cair dihubungkaitkan
dengan 4 kelas penggunaan air, yaitu untuk minum, rekreasi, industri, dan
pertanian.
Dalam
anatomi proses industri, selalu ada limbah yang dihasilkan. Sebagai langkah
optimalisasi, diperlukan pertimbangan apakah nantinya limbah akan dibuang atau
masih bisa dimanfaatkan. Sistem pengolahan limbah sendiri tergantung jenis
limbah, apakah akan diolah secara fisika, kimia, atau biologi. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah sifat operasional, kondisi operasional, kapasitas limbah,
dan umur pakai bahan pengolah limbah. Terdapat rapor pengolahan lombah yang
diurutkan dari baik ke buruk: emas, hijau, biru, merah, dan hitam.
Memasuki
pukul 12.30 WIB, seminar dijeda dengan ishoma.
Sejam berselang, acara dilanjutkan kembali. Kali ini dengan pembicara ketiga,
Bapak Adiarso yang juga seorang doktor. Pengalaman berkecimpung dalam dunia
bahan bakar selama 25 tahun membuat beliau kini dipercaya sebagai Direktur
Pusat Pengembangan Teknologi Sumber Daya Energi (PTPSE) di Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). “Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus.
Jangan makan ikan lele, jangan bertele-tele,” ujar Pak Adiarso jenaka sebelum
menyampaikan materinya.
Saat
ini, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah mencapai 200 Triliun per
tahun. Sebagai perbandingan kebutuhan BBM, banyak kendaraan di ibukota Jakarta
menghabiskan BBM di jalan karena macet. Subsidi BBM, dalam hal ini, ternyata hanya
dinikmati oleh masyarakat
perkotaan. “Kita selama ini hanya gali lalu jual,
belum bisa mengolah,” kata Pak Adiarso. Pada diagram potensi sumber daya energi
fosil, ternyata Indonesia hanya menguasai 0,5% minyak bumi, 1,4% gas alam, dan
0,5% batu bara, di tingkat dunia atau secara internasional.
Diperkirakan
sekitar 7 tahun lagi, Indonesia akan menjadi net importer energy. Hal ini antara lain karena tidak ada upaya
konkret dalam menangani permasalahan energi. Sebagai contoh, di Brazil, ada
tanah yang khusus dibudidayakan untuk pengembangan sumber daya energi
(bioethanol), sehingga tanah tersebut tidak boleh digunakan untuk lain-lain.
Sementara di Indonesia, Pak Adiarso menyinggung media yang hanya mem-publish kelangkaan BBM tanpa lebih jauh
mem-publish alternatifnya. “Sejak
zaman Pak Harto, kita sudah dimanja oleh BBM murah, sudah terlanjur enak,
padahal harganya di ASEAN saja,
itu (harga BBM Indonesia) sudah termasuk murah,” terang Pak Adiarso.
Bagaimana
dengan prospek energi alternatif di Indonesia? Direktur PTPSE BPPT itu menjawab
bahwa subsidi BBM membuat bahan bakar nabati (BBN) tidak dapat bersaing.
“Biofuel (BBN) tidak maju-maju karena masalah subsidi solar-premium. Biofuel
itu tidak disubsidi, jadi bagaimana bisa berkompetisi?” ungkap Pak Adiarso. Perbaikan
kebijakan subsidi dirasa perlu supaya BBN dihargai sama dengan BBM, sehingga
pengembangan BBN dapat terus dilakukan guna menjawab prediksi kelangkaan BBM
pada tahun-tahun yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar